Sang
Pemimpi
Tanggal
terbit :
Juli 2006
Halaman :
292 halaman
Unsur Intrinsik
Tema
Tema yang tersirat dalam novel Sang Pemimpi ini tak
lain
adalah “persahabatan dan perjuangan dalam mengarungi
kehidupan serta kepercayaan terhadap kekuatan sebuah mimpi
atau pengharapan”. Hal itu dapat dibuktikan dari penceritaan
per kalimatnya dimana penulis berusaha menggambarkan
begitu besarnya kekuatan mimpi sehingga dapat membawa
seseorang menerjang kerasnya kehidupan dan batas
kemustahilan.
Latar
Dalam novel ini disebutkan latarmya yaitu di Pulau Magai
Balitong, los pasar dan dermaga pelabuhan, di gedung bioskop,
di sekolah SMA Negeri Bukan Main, terminal Bogor, dan Pulau
Kalimantan. Waktu yang digunakan pagi, siang, sore, dan
malam. Latar nuansanya lebih berbau melayu dan gejolak
remaja yang diselimuti impian-impian.
Alur
Dalam novel ini menggunakan alur gabungan (alur maju
dan
mundur). Alur maju ketika pengarang menceritakan dari mulai
kecil sampai dewasa dan alur mundur ketika menceritakan
peristiwa waktu kecil pada saat sekarang/dewasa.
Gaya
Penulisan
Gaya penceritaan novel ini sangat sempurna. Yaitu
kecerdasan
kata-kata dan kelembutan bahasa puitis berpadu tanpa ada
unsur repetitif yang membosankan. Setiap katanya
mengandung kekayaan bahasa sekaligus makna apik dibalik
tiap-tiap katanya. Selain itu, Novel ini ditulis dengan gaya realis
bertabur metafora, penyampaian cerita yang cerdas dan
menyentuh, penuh inspirasi dan imajinasi. Komikal dan banyak
mengandung letupan intelegensi yang kuat sehingga pembaca
tanpa disadari masuk dalam kisah dan karakter-karakter yang
ada dalam novel Sang Pemimpi.
Sudut
Pandang
Sudut pandang novel ini yaitu “orang pertama” (akuan). Dimana
penulis memposisikan dirinya sebagai tokoh Ikal dalam cerita.
Unsur Ekstrinsik
Nilai
Moral
Nilai moral pada novel ini sangat kental. Sifat-sifat
yang
tergambar menunjukkan rasa humanis yang terang dalam diri
seorang remaja tanggung dalam menyikapi kerasnya
kehidupan. Di sini, tokoh utama digambarkan sebagai sosok
remaja yang mempunyai perangai yang baik dan rasa setia
kawan yang tinggi.
Nilai
Sosial
Ditinjau dari nilai sosialnya, novel ini begitu kaya
akan nilai
sosial. Hal itu dibuktikan rasa setia kawan yang begitu tinggi
antara tokoh Ikal, Arai, dan Jimbron. Masing-masing saling
mendukung dan membantu antara satu dengan yang lain dalam
mewujudkan impian-impian mereka sekalipun hampir mencapai
batas kemustahilan. Dengan didasari rasa gotong royong yang
tinggi sebagai orang Belitong, dalam keadaan kekurangan pun
masih dapat saling membantu satu sama lain.
Nilai
Adat istiadat
Nilai adat di sini juga begitu kental terasa. Adat kebiasaan pada
sekolah tradisional yang masih mengharuskan siswanya
mencium tangan kepada gurunya, ataupun mata pencaharian
warga yang sangat keras dan kasar yaitu sebagai kuli tambang
timah tergambar jelas di novel ini. Sehingga menambah
khazanah budaya yang lebih Indonesia.
Nilai
Agama
Nilai agama pada novel ini juga secara jelas
tergambar.
Terutama pada bagian-bagian dimana ketiga tokoh ini belajar
dalam sebuah pondok pesantren. Banyak aturan-aturan islam
dan petuah-petuah Taikong (kyai) yang begitu hormat
merka
patuhi. Hal itu juga yang membuat novel ini begitu
kaya.
Sinopsis
Sang Pemimpi
Karya : Andrea Hirata
Senin pagi,
setengah jam sebelum jam masuk, Pak Mustar mengunci pintu pagar sekolah. Banyak
siswa yang terlambat termasuk aku, Arai, dan Jimbron. Saat itu Arai menirukan
gaya Pak Mustar berpidato. Pak Mustar marah, dia mengajak dua penjaga sekolah
untuk mengejar kami. Ketika itu, aku dan Jimbron sedang duduk santai di depan
hadapan sekelompok siswa perempuan. Aku langsung meminyaki rambutku dengan
minyak rambut dan menyisir rapi agar para siswa perempuan terkesan.
Ketika aku
mendekati mereka, mereka justru berteriak ketakutan. Ternyata Pak Mustar yang
geram berdiri tepat di belakangku. Ia menarik kerah bajuku dan menyentaknya
sampai kancing bajuku lepas. Pak Mustar berusaha menamparku tetapi aku
merunduk. Aku langsung mengambil ancang-ancang untuk melesat pergi.
Aku melesat
lari, segerombolan siswa, Arai, dan Jimbron berlarian ke berbagai arah. Sialnya,
hanya aku yang dikejar Pak Mustar. Aku berlari menyusuri pagar sekolah. Banyak
murid-murid menyemangatiku karena juga benci dengan Pak Mustar. Aku berlari
semakin kencang menuju pasar pagi. Aku bertemu Arai dan Jimbron yang kelelahan.
Aku dan Arai menopang Jimbron yang tak sanggup berlari menuju gudang peti es.
Arai menyuruhku masuk ke dalam peti es berisi ikan. Aku ditindih Jimbron dan
Arai.
Nyonya Ho Pho,
pemilik gudang peti es itu menyuruh pembantunya mengangkat peti kami ke
stanplat. Ketika kami diangkat, Arai justru tersenyum padaku. Mungkin ia merasa
kejadian ini adalah kejadian yang fantastik. Aku melihat dari pandangan Arai
yang melihat pasar yang kumuh menjadi seakan taman indah. Beginikah seorang
pemimpi melihat dunia? Ketika kami diletakkan dan Nyonya Pho menghampiri kami
kami melonjak keluar. Nyonya Pho terkejut dan akhirnya jatuh tak berdaya. Ia
mengira kami adalah ikan duyung.
Sebenarnya
Arai masih bertalian darah denganku. Neneknya adalah adik kakekku dari pihak
Ibu. Ketika menginjak kelas 1 SD,Ibunya meninggal ketika melahirkan adiknya
yang juga meninggal. Baru kelas 3 SD, dia sudah ditinggal Ayahnya yang juga
meninggal. Kemudian ia dipungut keluarga kami.
Aku teringat
saat aku dan Ayahku menumpang truk kopra menjemput Arai. Dia sudah lama
menunggu kami, kami bertiga meninggalkan rumah Arai. Aku sedih melihat
keadaannya yang sudah sebatang kara. Tapi ia berusaha menghiburku dengan mainan
yang ia buat sendiri. Orang Melayu menyebut orang terakhir dalam silsilah
keluarga disebut Simpai Keramat. Ia
merasa bahagia karena siap memulai hidup baru.
Aku merasa
dilindungi oleh Arai. Ia adalah saudara, sahabat, dan pelindung bagiku. Ketika
ia menunjukkan gaya rambut paling baru, aku langsung mencobanya dan memperlihatkan kepada
abang-abangku. Mereka mengejekku, tapi Arai menyemangatiku. Gayanya bagaikan Lone Ranger.
Sore itu aku
dan Arai sedang bermain di pekarangan. Mak Cik Maryamah datang dengan
anak-anaknya meminjam beras. Beras itu rencananya akan ditukar oleh biola
Nurmi, anaknya. Tetapi ibuku membiarkan biola itu disimpan Nurmi. Arai
merencanakan sesuatu tetapai aku tidak tahu.
Aku
mengikutinya ke kamar. Ia memecahkan celengan tanah liatnya. Tanpa pikir
panjang aku pun ikut memecahkan celenganku. Ia menyuruhku mengantungi uang itu
dengan karung gandum. Ia menyuruhku mengikutinya. Dengan dua sepeda kami pergi.
Kupikir kami akan menyerahkan uang itu kepada Mak Cik Maryamah. Tetapi Arai
justru berbelok menuju pasar.
Aku tak tahu
apa yang Arai pikirkan. Tiba-tiba ia berhenti di toko A Siong. Ia menumpahkan
uang itu dari karung gandum. Ia meminta terigu, gandum, dan gula. Karena aku
tak tau apa yang sebenarnya yang direncanakannya dan aku tak mau uangku
dihamburkannya, maka aku menghentikan tindakan Arai. Sempat terjadi keributan
di toko tersebut.
Lalu aku
mengikutinya dengan membawa karung yang berisi terigu, gandum, dan gula. Kami
menuju rumah Mak Cik Maryamah. Arai mengulungkan tangannya memberikan
karung-karung itu. Rupanya ia berencana memberi Mak Cik Maryamah sebuah
pekerjaan membuat roti dan kami yang menjualnya. Aku terharu dan merasa malu
atas perbuatan Arai.
Para penggawa
masjid yaitu Taikong Hamim, Haji Satar, dan Haji Hazani adalah mesin-mesin budi
pekerti. Mereka sangat kejam. Kalau tamat SD belum hafal Juz ‘Amma, siap-siap
dimasukkan bedug yang dipukul sekeras-kerasnya, sampai berjalan zig-zag. Aku
dan Arai sering dihukum Taikong Hamim. Maka dari itu Arai berencana
menjailinya.
Setiap Taikong
Hamim menjadi imam shalat jamaah dan saat akhir bacaan Al-Fatihah Arai menyahut dengan kata
Amin yang panjang dan berliuk-liuk. Menurut Arai ini adalah kejahilan yang
aman, karena Taikong Hamim tidak tahu siapa pelakunya, karena ada ratusan
anak-anak. Taikong Hamim tidak tahu, tapi Tuhan tahu dan akan membalas suatu
saat nanti.
Pak Balia,
kepala sekolah kami mengajar sastra. Ia menyuruh kami sekelas untuk menemukan
kata-kata indah. Dari seluruh penjuru dunia para murid mencetuskan kata-kata
dari para pemimpin dunia. Aku yang tak punya kata-kata indah, hanya menyebutkan
lirik lagu Haji Rhoma Irama. Masa muda, masa yang berapi-api.
Beberapa tahun
lalu, sebuah keluarga Melayu miskin berkebun di sebuah pulau tak jauh dari
muara. Dalam perjalanan pulang, perahu mereka terbalik. Dalam keluarga itu
hanya ada satu anak yang masih hidup. Namanya Laksmi. Ia seakan tidak punya
harapan lagi, dia sangat jarang tersenyum. Sebenarnya Jimbron menaruh hati
padanya. Tiap hari Minggu Jimbron membantu Laksmi. Tetapi Laksmi membiarkanya, tak
acuh. Jimbron hanya ingin membuatnya tersenyum lagi.